|
ENTAH KARENA memang kemampuannya mumpuni atau justru sebaliknya. Yang jelas bupati yang satu ini keukeuh menempatkan anak, menantu, serta kemenakannya pada posisi strategis. Anak kedua Murasman, Monadi menjabat Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar). Menantunya, Rafik Orba adalah Kepala Inspektorat. Anaknya, Montesna, menjabat Sekretaris Dinas Kesehatan. Terakhir, Bendahara BKD adalah keponakannya, Leni.
“Orang lain saja saya
angkat jika kualitasnya memenuhi persyaratan. Nah anak-anak saya persyaratannya
sudah cukup, masak tidak saya angkat.
Bodoh saya namanya. Apa salahnya meski itu anak saya,” kata Murasman.
Lagipula, katanya, Dikjar adalah
satu-satunya dinas yang paling bisa menerjemahkan konsep-konsep pembangunan
saya. Sejak tamat STPDN dia sudah pernah Camat, Kabag Pem, Kadis KSPM di zaman
pemerintahan bupati sebelumnya. “Begitu pula dengan anak saya, Sekretaris
Dinkes. Kinerjanya cukup baik,” ujarnya.
Sebaliknya, Wakil Ketua
DPRD, Irmanto mengaku sudah pernah mengkritik Murasman agar tidak memposisikan
keluarganya pada posisi strategis. “Dasar dia tak punya malu, ya tak bergeming,”
kata Irmanto.
Apalagi
katanya, Dikjar itu mengelola anggaran yang tidak sedikit, sekitar Rp 100
miliar setahun. Keluarganya itu sebagian besar tak memiliki kapabilitas. “Monadi
misalnya latar belakang pendidikannya sospol, kenapa ditaruh di Dikjar. Begitu
pula menantunya yang duduk di Dinas Kesehatan. Latar belakangnya juga orang
sospol. Tidak nyambung,” kata Irmanto.
Sebagian besar masyarakat Kerinci hidup bertani
sawah
|
Kabar yang berembus kencang di Kerinci bahwa istri Murasman, Daruli dan dua anaknya: Edmon (anak sulung) dan Yulmon mengatur proyek tender hingga ke proyek penunjukan langsung (PL). Edmon adalah Ketua Gapensi sekaligus Ketua Partai Nasdem Kabupaten Kerinci. Setiap kontraktor mesti setor di muka terlebih dulu 10-15 persen. Setoran harus langsung ke tangan Daruli. Termasuk siapa yang ingin menjabat kepala dinas atau PPTK, sampai kepala sekolah.
Selain lewat Daruli,
urusan negosiasi bisa juga melalui Edmon atau lewat istrinya, Linda. Linda juga
menjadi kontraktor. Nah, Proyek-proyek PL diatur sama Yulmon, anak kesayangan
Murasman.
“Ya jelaslah saya tahu
kalau anak-anaknya bermain proyek, sampai kita cek ke bank. Ada yang pakai
perusahaannya, ada pula yang pakai perusahaan lain. Pokoknya mereka bisa punya
15 perusahaan. Terlihat betul kalau dia mau jadi bupati itu untuk mencari
kekayaan,” kata Irmanto.
Berkali-kali saya mencoba
menemui Edmon di rumahnya. “Wah kalau nomor handphone
Bapak selalu gonta-ganti. Nanti akan saya sampaikan, tinggalkan saja nomor
telepon yang bisa dihubungi,” kata salah seorang yang mengaku bernama Yono,
pembantu Edmon pada Senin, 20 Mei lalu.
Menjawab tudingan “tukang
atur proyek”, Linda membantahnya. “Siapa yang bilang begitu. Saya tidak pernah
terlibat urusan begitu,’ katanya. Plak! Telepon langsung dimatikan. Seorang
wartawan asal Kerinci, Janewar Usman pernah melihat langsung Linda mencairkan
duit miliaran rupiah di Bank Jambi Cabang Kerinci. Linda mencairkan atas nama
perusahaan miliknya. Janewar ingat persis kejadian itu sekitar tahun 2011.
Johan, seorang kontraktor
yang dikenal dekat dengan Edmon menolak berkomentar, “Nanti sajalah, Pak.
Kapan-kapan kita bertemu. Kalau bicara di telepon kurang enak,” katanya
mengakhiri pembicaraan lewat telepon seluler pada Selasa, 28 Mei lalu.
Kabarnya seorang
kontraktor bernama Lie Eng Jun sepanjang tahun 2008 hingga 2011 telah memberi
uang sebesar Rp 1,7 miliar langsung ke tangan Daruli. Plus dana sebesar Rp 2,8
miliar ke dinas-dinas terkait. Hasilnya, Lie hanya kebagian jatah proyek
sekitar Rp 20 miliar lebih pada tahun 2011.
Salah satu proyek Johan
|
Tahun itu, Lie mengerjakan
jalan baru sampai pengaspalan di Lubuk Nagodang sepanjang 4,7 km sebesar Rp
12,6 miliar. Pekerjaan lanjutan dengan panjang yang sama dan pengaspalan
sekitar 2,5 km senilai Rp 9,4 miliar jatuh ke tangan orang. Jatuh ke tangan
Saiful, adik tiri Daruli.
Proyek kedua Lie adalah
Jembatan Koto Rendah. Desainnya dikerjakan Lie dengan PT Bukaka. Desainnya
justru dicairkan oleh Edmon sebesar Rp 286 juta (dana perencanaan dan
pengawasannya). Desain gambar jembatan berukuran 40 x 12 meter. Di lapangan ukurannya
bertambah menjadi 40,070 x 12,5 meter, sehingga yang terjadi justru kelebihan
volume proyek. “Itu belum termasuk ganti rugi tanah masyarakat dengan kelebihan
timbunan,” ujar Lie.
Jembatan Koto Rendah yang dikerjakan
Lie Eng Jun
|
Lie kesal,
proyek-proyek lanjutan di Lubuk Nagodang dan Koto Rendah justru diberikan kepada
orang lain. Merasa tertipu, pada Juli 2012, Lie melaporkan Daruli ke Polda
Jambi. Pada 9 Agustus 2012, panggilan ketiga kalinya, Daruli akhirnya memenuhi
panggilan Polda Jambi.
Menurut Lie, dia justru nonbok. Uang ganti rugi tanah dengan
masyarakat di jalan Lubuk Nagodang dan Jembatan Koto Rendah itu totalnya
menggunakan dana sebesar Rp 486 juta yang dibayarkan melalui Kabid Bina Marga,
PPTK, dan Camat. “Pemerintah hanya mengganti sebesar Rp 80 juta,” katanya pada Ahad,
12 Mei lalu.
“Mana ada urusan ibu
bupati soal proyek. Itu urusan Dinas PU. Dan kalaupun benar dia berikan fee di depan sebesar Rp 3 miliar apa
mungkin. Proyeknya saja hanya senilai Rp 4 miliar lebih,” kata Murasman.
Sebaliknya Murasman
mengatakan Lie mestinya mengembalikan sisa dana proyek sebesar Rp 800 juta. “Terbalik
nggak. Justru volume pekerjaan melebihi rencana pekerjaan. Semestinya uang saya
yang mereka kembali. Lagipula kalau laporan saya ke Polda tak benar, Murasman
melapor balik dong, pencemaran nama
baik. Mana berani dia,” kata Lie.
Sementara itu, Irmanto
menjelaskan seperti proyek pengaspalan Jalan Simpang Tanjung Tanah – Lubuk
Nagodang, sudah dianggarkan di tahun 2010 sekitar Rp 14,5 miliar. Dengan asumsi
1 km menelan biaya Rp 1 miliar. Kenyataannya hanya terealisasi 2,6 km. Itupun
dikerjakan baru pada 6 hingga 9 Januari 2011. “Ke mana dialihkan saya tidak
tahu,” ujar Irmanto.
Proyek jalan
baru sampai Desa Koto Tebat
|
Tahun 2012 kembali dianggarkan Rp 10 miliar di lokasi yang sama. Dan lagi-lagi sama sekali tak dikerjakan. “Sejak tahun 2012, saya bersikeras tidak dianggarkan lagi,” ujarnya. Terkadang, Irmanto tak habis pikir dengan Murasman beserta perangkatnya bekerja, apakah ada aturan atau tidak mengingat komunikasi dengan DPRD dianggap tidak ada.
“Kalau
sudah begini untuk apa ada DPRD. Lebih baik, kelola sendiri saja sama Bupati.
Pusing kita. Tanah orang, tanah Anda pun bisa berpindah menjadi milik Murasman.
Kita sudah awasi, malah apa yang sudah kita anggarkan itu dia ubah sesuka
hati,” kata Irmanto mengeluh.
Menurut
Irmanto kalau Murasman benar-benar bekerja dengan baik sebenarnya bisa. Setiap
tahun, lebih kurang dianggarkan Rp 200 miliar untuk pembangunan infrastruktur.
Seluruh ruas jalan di Kerinci sekitar 300 km. “Kemudian kita anggarkan untuk
satu kantor sekitar Rp 1 miliar, paling banyak Rp 2 miliar, selesai kan?
Mestinya 5 tahun, Murasman sudah mampu membangun Kerinci dengan baik,” ujarnya.
Pada
15 Mei 2013 lalu, kabar tak sedap kembali menyeruak. Dalam rapat evaluasi
Pendapatan Asli Daerah yang dipimpin Wakil Bupati Kerinci, M. Rahman terkuak
bahwa sisa anggaran tahun 2012 sebesar Rp 160 miliar.
Menurut Kepala DPPKAD
Kerinci, Erwan, Pemerintah Kabupaten Kerinci mengambil kebijakan dengan
mendepositokan dana Rp 160 miliar itu di Bank Jambi Cabang Kerinci. “Bunganya
Rp 5 miliar namun baru dibayarkan pihak bank sekitar Rp 750 juta,” kata Erwan.
Harta Murasman patut
dicurigai. SPBU miliknya yang berada di Siulak tak lama lagi akan segera
beroperasi dalam tahun ini. Alat berat excavator
4 unit, satu unit vibroting roller
BOMAG emas dan sejumlah tanah miliknya yang bertebaran di sekitar Bukit Tengah.
SPBU ditaksir berkisar Rp 7 miliar. Lima alat berat itu sekitar Rp 6 miliar.
Belum termasuk uang kontan dan emas yang menurut kabar disimpan di rumah dinas
bupati. “Kalau SPBU itu memang benar namun ijinnya belum ke luar. Itu
semata-mata saya buat untuk mengatasi kelangkaan BBM,” kata Murasman.
***
Versi lebih pendek dimuat di GATRA Nomor 31 Beredar
Kamis, 6 Juni 2013